Asas-Asas Hukum Acara Perdata - Sejarah Hukum. Jika berbicara tentang hukum tentunya kita juga tidak bisa terlepas tentang asas-asas yang mendasari berdirinya sebuah hukum. Begitu juga dengan hukum acara perdata, setidaknya ada 9 asas hukum acara perdata yang penting untuk kita ketahui dan kita pelajari.
Hakim Bersifat Menunggu
Asas dari hukum acara perdata pada umumnya ialah bahwa pelaksanaanya, yaitu inisiatif untuk
mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Kalau tidak ada
tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak hakim. Demikianlah bunyi pemeo yang tidak asing lagi
( wo kein klager ist, ist kein reichter, nemo judex sine actore ).
Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim menunggu
datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya “index ne procedat ex officio” ( lihat pasal 118
HIR, 142 Rgb.).
Hanya yang menyelenggarakan proses adalah negara. Akan tetapi sekali perkara
diajukan kepadanya, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009).
Hakim Pasif
Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dala arti kata bahwa ruang lingkup
atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya di tentukan
oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
peradilan ( pasal 4 ayat (2) UU No.48 tahun 2009).
Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan
oleh para pihak (secendum allegata iudicare).
Hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat pada peristiwa
yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Para pihaklah yang diwajibkan untuk
membuktikan dan bukan hakim. Asas ini disebut verhandlungsmaxime.Jadi pegertian pasif ini yaitu bahwa hakim tidak menentukan luas dari pada pokok sengketa.
Hakim tidak boleh menambah atau menguraninya. Akan tetapi itu semuanya tidak berarti bahwa
hakim tidak aktif sama sekali tidak aktif. Selaku pimpinan sidang harus aktif memimpin dan
memeriksa perkara dan tidak merupakan pegawai atau sekedar alat dari pada para pihak,
danharuslah berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan. Karenanya dikatakan bahwa sistem HIR adalah aktif, berbeda dengan
sistem Rv yang pada pokoknya mengandung prinsip “hakim pasif”. Asas hakim menurut HIR itu
sesuai dengan aliran pikiran tradisionil Indonesia.
Sifatnya Terbuka
Persidangan
Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa
setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari pada
asas ini tidak lain untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam peradilan serta
untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan yang fair, tidak
memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat.
Asas ini dapat kita jumpai pada Pasal 13
ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 : “Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk
umum, kecuali undang-undang menentukan lain”.
Secara formil asas ini membuka kesempatan untuk “social kontrol”. Asas terbukanya
persidangan tidak mempunyai arti bagi acara yang berlangsung secara tertukis. Kecuali apabila
ditentukan lain oleh undang-undang atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting yang
dimuat di dalam nerita acara yang diperintahkan oleh hakim, maka persidangan dia lakukan
dengan pintu tertutup.
Mendengar Kedua Belah Pihak (penggugat dan tergugat melalui surat-surat)
Didalamnya hukum acara perdata kedua belah pihak diperlakukan sama, tidak memihak dan
didengar bersama-sama. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan
orang, seperti yang dimuat dalam pasal 4 ayat (1) UU No.48 tahun 2009 mengandung arti
bahwa didalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan atas
perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus di beri kesempatan untuk memberi
pendapatnya.
Asas kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas “audi et alteram
partem” atau “eines mannes redeist keines mannes rede, man soll sie horen alle beide”. Bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan
tidak didengar atau tidak di beri kesempatan untuk meneluarkan pendapatanya
Putusan Harus Disertai Alasan-alasan
Semua putusan pegadilan harus memuat alsasn-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk
mengadili (pasal 184 ayat (1), 319 HIR, 618 Rgb.). alasan-alasan atau argumentasi itu
dimaksudkan sebgai pertanggung jawaban hakim dari pada putusanya terhadap masyarakat, para
pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunya nilai
objektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan yang mempunyai wibawa dan bukan
karena hakim tertentu yang menjatuhkanya.
Putusan MA yang menetapkan, bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertanggungjwabkan (onvoldoende gemotiveerd) mrupakan alasan untuk kasasi dan harus
dibatalkan.
Kenyataanya sekarang tidak sedikit hakim yang terikat oleh putusan pengadilan tinggi atau
mahkamah agung mengenai perkara yang sejens. Bukan karena kita mengikuti asas “the binding
force of precedent”, melainkan terikatnya hakim itu karena yakin bahwa putusan yang mengenai
perkara yang sejenis itu meyaknkan putusan itu tepat.
Ilmu pengetahuan hukum merupakan sumber pula untuk mendapatkan bahan guna
mempertanggung jawabkan putusan hakim didalam memeprtimbangakannya. Sifat objektif dari
pada ilmu pengetahuan itu sendiri menyebabkan putusan hakim yang bernilai objektif pula.
Beracara Dikenakan Biaya
Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya ( pasal pasal 2 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009,
121 ayat 4, 182,183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rgb.).
Biaya perkra ini meliputi biaya kepanitraan dan biaya panggilan, pemberitahuan para pihak serta
biaya materai. Disamping itu apabila diminta bantuan seorang pengacara, maka harus pula
dikeluarkan biaya.
Namun bagi yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara
secara Cuma-Cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi ( pasal
23 HIR, 273 Rgb.).
Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilakan perkara orang lain, sehingga pemerikasaan
terjadi secara langsung terhadap pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak
dapat dibantu atau di wakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya. Dengan demikian hakim tetap
wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidakmewakilkan
kepada seorang kuasa.
Wewenang untuk mengajukan gugatan dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa.
Dengan
memeriksa para pihak yang berkepentingan secara langsung hakim dapat mengetahui lebih jelas
persoalanaya. Walaupun HIR menentukan, bahwa para pihak dapat dibantu atau diwakili, akan
tetapi tidak ada ketentuan bahwa seorang pembantu atau diwakil harus seorang ahli atau sarjana
hukum.
Menurut RO ada persyaratanya untuk bertindak sebagai prosedur. Antara lain ia harus sarjana
hukum ( pasal 186).
Pada hakikatnya tujuan dari pada perwakilan wajib oleh sarjana hukum
(verplichte procureurstelling) ini tidak lain untuk lebih menjamin pemeriksaan yang objektif,
melancarkan jalanya peradilan dan memperoleh putusan yang adil.
Adapun mengenai terjadinya perwakilan, antara lain:
- Ketentuan undang-undang, misalnya untuk anak dibawah umur oleh orangtua atau wali, sakit ingatan oleh pengampunya.
- Perjanjian kuasa khusus, untuk perwakilan yang dilakukan oleh pengacara atau penasehat hukum.
- Tanpa surat kuasa khusus, untuk acara gugatan perwakilan kelompok oleh satu atau beberapa orang dari kelompoknya (Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok).
Perlu diketahui bahwa wewenang untuk mengajukan gugatan secara lisan tidak berlaku bagi
kuasa.
Peradilan Dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 2
ayat (1) UU No. 48 tahun 2009)
Maksudnya adalah hakim harus selalu insyaf karena sumpah jabatannya, ia tidak hanya
bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri dan kepada masyarakat, tetapi bertanggung jawab
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Setiap putusan pengadilan harus mencantumkan klausa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” agar putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk
melaksanakan putusan secara paksa, apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan
putusan dengan sukarela.
Peradilan Dilakukan dengan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan (Pasal 2 ayat (4) UU
No.48 tahun 2009)
Sederhana maksudnya acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Makin sedikit
dan sederhana formalitas dalam beracara maka semakin baik. Sebaliknya terlalu banyak
formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan akan menimbulkan beraneka ragam penafsiran
sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum.
Cepat menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak berlarut-larut
yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli warisnya.
Biaya ringan maksudnya biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh
masyarakat. Biaya perkara yang tinggi membuat orang enggan beracara di pengadilan.
Demikianlah 9 asas-asas hukum acara perdata. Semoga bermanfaat.